Kings of Convenience Liputan Konser [Reportage for GATRA magz] Dua Hari bersama Eirik Boe & Erlend Oye, Dua Hari Berbagi Riang & Haru

September 24, 2008 at 2:51 pm (GATRA, Journal, Musique, Reportage) (, , , , , , , , , , , , , , , )

Dua Hari bersama Eirik Boe & Erlend Oye,

Dua Hari Berbagi Riang & Haru

Pertunjukannya di Bandung, begitu dikagumi. Kings of Convenience bertahta di hati para pengagum. Ialah Eirik,pengagum alam, dan Erlend, pengagum figur ibu.

Pesta bagi Fanatik Duo Raja: Kings of Convenience

Menjelang pukul 6 sore, antrian calon penonton begitu panjang. Akan tetapi, mereka tidak bisa mudah memasuki area. Para penjaga melakukan penjagaan ketat. Memeriksa barang bawaan termasuk peraturan yang meresahkan audiens. Tidak boleh membawa kamera.

Para calon penonton terlihat resah. Gusar. “Kok lama banget, sih?” Begitu kira-kira keluhan Anne (23) di tengah antrian.

Alhasil, Cherry Bombshell, band pembuka I, tampil satu jam setelah jadwal berlaku. Seharusnya jam 18.00 menjadi jam 19.00 WIB.

Tak kurang dari 7 lagu dibawakan band bervokalis mungil ini. Termasuk nomor andalan Langkah Peri yang mendapat sambutan meriah.

Sekitar 45 menit berlalu, layar kembali tertutup. Audiens kembali dibuat menunggu.

Di sela-sela itu, sebuah pengumuman terdengar. Meminta audiens untuk berdiri pada saat band selanjutnya tampil. Agar suasana lebih hidup. Namun audiens tidak menanggapi selain tak bergerak. Satu dua sahutan menolak terdengar.

Akhirnya, setelah 15 menit lamanya tidak ada perkembangan, layar kembali dibuka. Kali ini, giliran Pure Saturday, band pembuka II.

Setengah jam lamanya, band ini tak pernah berubah mengesankan penggemarnya karena permainan akustiknya yang kental. Nomor lawas seperti Kosong selalu menggairahkan penonton. Tak ketinggalan Silence yang muncul sebagai tembang penutup.

Saat itu, waktu menunjukkan sekitar pukul 20.30 WIB. Beberapa penonton tampak keluar sejenak untuk sekedar menghisap rokok atau ke kamar kecil. Maklum, di dalam gedung, panitia memberlakukan larangan merokok.

Meskipun harus menanti tak kurang dari setengah jam, penonton tidak rewel. Mereka tetap duduk tenang di tempat masing-masing.

Sementara malam itu, gedung memang sangat padat. Para penonton betul-betul berhimpitan satu sama lain. Tak satupun berdiri. Tentu saja. Kalau berdiri, pastilah akan mengganggu pemandangan yang di belakangnya.

Seperti inilah karakter penonton di Bandung. Paling tidak, dalam acara-acara musik indie seperti ini.

Sejak musik pembuka disuguhkan, audiens tetap tenang duduk. Tidak pada setiap nomor lagu usai dimainkan mereka bertepuktangan meriah. Seperti pada saat kedua band pembuka tersebut tampil. Tidak sedikit audiens terkadang tidak bertepuktangan sama sekali. Ada anggapan, audiens di Bandung adalah penikmat dan pemerhati sejati. Mereka bertepuktangan bila menginginkan. Bukan sekadar formalitas.

Tentu saja sangat berbeda dengan yang terjadi pada giliran Kings of Convenience (KOC). Setiap nomor lagu diberi sambutan hebat. Sebagian besar nomor lagu turut dinyanyikan bersama. Iring-iringan histeria audiens benar-benar mewakili sambutan mereka terhadap penampilan duo ini.

Penampilan Kings of Convenience

Demikianlah tatkala waktu mulai beranjak menuju 21.00 WIB. Layar kembali dibuka. KOC memasuki panggung. Eirik Glambek Bøe (30) disusul Erlend Øye (30). Disambut sangat meriah penonton. Senyum menghiasi kedua wajah mereka. Keduanya langsung meraih gitar akustik masing-masing.

Tanpa basa-basi, duo ini langsung memasuki persembahan pertama mereka. Serentak audiens mengatupkan mulut mereka rapat-rapat. Mulai menyimak penampilan yang sudah dinanti-nantikan.

Nomor pertama untuk malam itu adalah Until You Understand. Single dari single CD yang bertajuk Playing Live in a Room (2000). Audiens masih begitu kalem menyimak idolanya sungguh-sungguh tampil langsung di depan mata. Begitu seterusnya hingga nomor ke-2, Love Is No Big Truth. Yang sebelumnya diselingi tepukan tangan meriah.

Seusainya, terdengar sapaan yang tak terduga. “Kumaha damang?” sapa Eirik. Seraya tersenyum, ia sempat melempar arah pandangnya ke bawah. Teriakan, tepukan tangan, dan siulan muncul menjawabnya. Duo itupun saling melempar pandang. Kedua lesung pipit Eirik masih mengapit senyumannya.

How do you say ‘Yes’?” (Bagaimana untuk bilang ‘Yes’?), lanjut Eirik. Audiens kompak menjawab, “Ya!”

Dicoba ikuti Eirik. Tentu saja dengan aksen british (keinggrisan). Masih disambut meriah penonton.

Melengkapi Eirik, Erlend menanyakan antonimnya. And how do you say ‘No’?” (Dan bagaimana untuk bilang ‘No’?). Jawabannya sudah pasti ‘tidak’. Kali ini, suara audiens tidak terdengar serempak. Setelahnya, Eirik justru mengartikannya lain. Ne.., ujar Eirik.

Terdengar tidak menyerupai sama sekali. Tidak seperti antonimnya. Bahkan diulanginya beberapa kali. Barangkali karena pengucapan penonton tidak terdengar jelas. Terdengar tawa sedikit-sedikit. Barangkali keduanya sama-sama tidak mengerti.

Erlend justru mengucapkan kata lain. Kali ini agak aneh di telinga audiens. Mereka menunggu beberapa saat setelah Erlend mengulanginya. Ciaa.., ujar Erlend. Kurang lebih seperti itulah apabila dituliskan dalam ejaan Bahasa Indonesia.

Do you know what it means? (Tahu apa artinya?) tanya Erlend ke audiens. Ia bertanya sambil mengangkat-angkat kedua belah lengannya seraya memanjangkan bunyi pada suku kata kedua. Ciaa.. Terdengar sesekali gelak tawa di antara audiens. Sementara Eirik dan Erlend sudah senyam-senyum di atas panggung atas ulah jenakanya sendiri.

In our language, it means yes and no in the same time,” (Dalam bahasa kami, artinya ya dan tidak pada waktu bersamaan) tutur Erlend. Membolak-balikkan telapak tangannya. Berlawanan arah. Seakan berusaha menunjukkan kontradiksi (hal kontradiktif). Sementara audiens tengah tenggelam antara gelak tawa, siulan, dan sederet bentuk sorak sorai kecil lainnya. Mengexpresikan respon mereka atas polah jenaka Erlend.

Barangkali ada padanannya. Dalam Bahasa Prancis dikenal comme ci comme ca. Dalam Bahasa Inggris dikenal a kinda/ something like that. Dalam Bahasa Indonesia dikenal nggak juga/ ya, begitulah/ ya, gitu deh.

Di antara gelak tawa itu, Eirik dan Erlend kerap saling melempar pandang. Eirik kemudian mulai mendentingkan dawai-dawai gitarnya. Merangkaikan nada memasuki melodi intro nomor ke-3 malam itu. Penonton kontan menyambut luar biasa.

Sepertinya mereka sudah bisa menebak lagu apa yang akan dibawakan selanjutnya, Cayman Island. Andalan berikutnya dari album terakhir (Riot on An Empty Street) (2004).

Nomor ini tampak mulai menghangatkan suasana. Audiens yang ikut menyanyi lebih berani dan banyak. Agaknya liriknya juga lebih dikuasai audiens.

Setelah disambut meriah, duo ‘raja’ ini langsung membuat medley ke lagu I Don’t Know What I Can Save You From. Sebuah nomor yang muncul dalam album pertama (Kings of Convenience) (2000) dan album ke-2 (Quiet is The New Loud) (2001).

Audiens pun langsung turut menyanyikannya. Pada bridge, audiens tak tahan untuk bertepuktangan mengagumi melodi apik Eirik. Ketika memasuki bridge ke-2, audiens turut memberi ketukan lewat tepukan tangannya. Hingga menuju closing.

Thank you,” ujar Eirik dengan suara yang rendah seraya hanya tersenyum. Penampilannya yang cederung kalem dan hanya melempar senyum justru tampak mengundang kegemasan penonton. Terutama the ladies.. Gelak tawa dan siulan menyertai.

Selanjutnya, nomor yang muncul hampir semuanya datang dari album terakhir KOC. Seperti Winning A Battle, Losing The War dan Gold In The Air Of Summer.

Dalam Gold In The Air of Summer, dentingan tajam piano Erlend membuat penonton terpaku. Seluruh audiens seakan-akan kian tersihir pesona melankolik KOC. Musik yang rasanya muncul dari hati mereka berdua. Menyentuh hati hadirin pula.

Sementara di media area, fotografer yang masih belum boleh memotret hingga nomor ke-11 nanti, tampak turut tersihir.

Pada awalnya, tidak ada yang boleh berada terlalu dekat dengan bibir panggung. Namun, kian lama, semua orang seakan kian terserap ke arah panggung. Selain karena bersiap-siap memotret pula.

Dentingan piano pada nomor ke-7 mulai dimainkan. Kali ini duo juga melakukan medley. Dari album ke-2, KOC memainkan Singing Softly To Me dan The Girl From Back Then berturut-turut. Pada nomor ini penonton sangat riuh. Semakin tergila-gila menyambut.

Erlend mengajak penonton menari. Bergoyang di sana dan di sini. Erlend tampak lebih atraktif dibandingkan Eirik. Ia senang bergerak-gerak. Ia menari dengan gaya yang sangat smooth (lembut). Mengikuti irama dan ketukan lagu.

Seperti ketika kali lain, ketika ia sesekali meletakkan gitarnya pada dudukannya. Saat itu, ia pun menjentik-jentikkan jari-jemari kedua tangannya. Membentuk ketukan. Berjalan ke muka panggung, ke arah penonton. Tersenyum dan tetap memain-mainkan kedua lengan jenjangnya ke sana ke mari.

Ia juga sempat kembali ke piano dan mendentingkan nada-nada tajam nan membawa pendengar untuk semakin larut dan tersentuh.

Sementara Eirik tekun dengan dawaian gitarnya. Di bridge mendekati closing, lagi-lagi Erlend mengajak penonton ikut serta dalam kegilaannya. Ia meminta audiens untuk mengikuti bunyi ‘U’ yang dipanjangkan untuk mengiringi closing lagu ini. Audiens rupanya mengikuti anjurannya. Di sela-selanya, tawa geli audiens dan senyum puas Erlend dan Eirik menghiasi.

Stay Out Of Trouble pun sesuai untuk melanjutkan romantisme ini. Pada nomor ini, audiens serempak mengisi dengan siulan. Menggantikan detil nada yang menjadi ciri khas lagu ini. Yang dalam versi rekamannya secara variatif diisi oleh gesekan cello yang menyayat dan betotan (tarikan) bass yang naik turun. Siulan membuat lagu ini terdengar lebih ceria. Lebih ringan nuansanya.

Lucunya, pada saat interval nada dinaikkan setengah, sesiulan itu mulai simpang siur. Mulai agak sulit diikuti. Namun, toh, audiens tidak menyerah. Mereka yang masih bisa mengikuti nada dasarnya tetap mengiringi hingga usai. Sepanjang lagu ini, keduanya berduet gitar dengan apik. Harmoni penuh. Sinergis energi yang kuat satu sama lainnya.

Suasana melankolik kian menyelimuti manakala Homesick menyambungnya. Pada saat intro mulai dimainkan, audiens sudah histeria. Kemudian seakan dengan begitu khidmat, turut menyanyikannya. Menghayati. Larut dalam suasana. Mengharukan.

Dilanjutkan dengan Know How. Dalam nomor ini, beat (ketukan) terasa lebih kuat. Meskipun melodi yang muncul tetap lembut. Suara audiens pun terdengar sangat merdu melantunkan senandung bersambung lirik. “O..o..oh../ What is there to know?/ Ooh../ All this is what it is/ O..o..oh../ You and me alone/ Sheer simplicity.”


Toxic Girl. Sebuah nomor cantik dari album pertama justru dilanjutkan dengan The Boat Behind. Sebuah nomor single terhitung baru yang belum dirilis. Sementara itu, penonton dan pers mulai mengacungkan kamera. Mengabadikan KOC.

Sebelum melanjutkan ke lagu berikutnya, Erlend justru merasa lapar. Ia pun dengan santainya membuka sebungkus cokelat snickers. Ia kunyah-kunyah seraya duduk dan memangku gitarnya. Memandang Eirik yang di sisi kiri panggung. Sementara Eirik hanya diam berdiri menatap rekannya itu. Tetap dengan senyum yang terjaga di bibirnya. Tetap dengan gitar yang menggantung di bahunya. Gelak tawa penonton kerap terdengar.


Kadang-kadang, sebelum melanjutkan pada lagu selanjutnya, Erlend mendekati Eirik. Mereka berbincang. Tak terdengar. Gerak mulutnya pun nyaris tak terlihat.

Seperti saat mereka akan memasuki nomor ke-13 ini. Kali ini, duo berbincang cukup lama. Dengan expresi yang tak bisa ditebak. Namun cukup mengundang beberapa siulan jahil dari arah audiens. Namun keduanya tak terpengaruh. Mereka tetap berbincang. Hingga akhirnya, Eirik tampil tunggal menyanyikan Garota de Ipanema. Girl from Ipanema versi Bahasa Portugis. Mengundang sambutan meriah para penonton.

Erlend yang tak bisa tinggal diam. Kali ini ia kembali mengundang gelak tawa penonton. Dengan lagak bak pemain terompet piawai. Ia mengambangkan kedua lengannya di depan dadanya. Sebuah imajinasi seolah-olah ia sedang memainkan tuts-tuts terompet. Sementara seuntaian suara terompet mengiringi lagu ini. Suara itu hasil rekayasa olah suaranya. Bibir, lidah, seluruh rongga mulut dan perutnya mencipta bunyi terompet yang amat menyerupai aslinya. Kembali, Erlend yang gila lagi jenaka polahnya.


Dilanjutkan dengan
Misread. Satu lagi nomor terfavorit yang membuat audiens terdengar hapal luar kepala sepanjang syairnya. Dilanjutkan dengan Little Kids dari album ke-2.

Ia mengayun-ayunkan microfon lewat untaian kabelnya. Perlahan dan lembut mengikuti irama. Mengajak audiens menikmati musiknya. Membuat mereka juga histeris.

Akhirnya tibalah di nomor terakhir. Ketika Erlend berkata, Here we go. The last song from us.” (Baiklah,. Ini lagu terakhir dari kami.”) Segera disongsong nada kecewa dari penonton.

Di nomor bakal penutup ini, Erlend kembali meletakkan gitar akustiknya. Sebelumnya Erlend berkata, It’s so great to be here. To have everyone’s singing together. As it’s so great the time when we’re have a fun time and meet friends from school. And sing together. And dance together,..” (Sungguh menyenangkan berada di sini. Semua orang bernyanyi. Sebahagia saat kita dalam masa yang menyenangkan. Dan bertemu teman sekolah. Dan bernyanyi bersama. Menari bersama,..” tutur Erlend.

Seraya Eirik mulai mendentingkan intro lagu selanjutnya, Erlend melanjutkan. So, I’d rather dance with you than play music for you.” (Jadi, lebih baik saya berdansa denganmu daripada bermain musik untukmu). Serentak audiens menyadari lagu pamungkas yang akan dibawakan. I’d Rather Dance with You. Lagi, hits dari album terakhir KOC.

Ia berjalan ke arah penonton mengikuti ketukan irama lagu. Dengan gerakannya yang lembut seakan langkah demi langkahnya mengalun.

Pada kesempatan itu, hap! Seorang gadis mungil, gemuk nan manis diajaknya naik ke atas panggung. Menari bersama. Berhadapan begitu dekat. Sejenak audiens bersorak-sorai riuh. Antara terpukau dan cemburu. Erlend dan gadis yang tersenyum lebar dan menari-nari kecil itu tetap mengikuti irama.

Demikianlah dan keduanya kembali ke tampatnya semula. Erlend kemudian seraya masih menari-nari di tempat, kini turut pula menyanyi bersama Eirik. Memukau hadirin.

Saat seperti itu, Erlend kerap mengangkat-angkat lengannya. Menggerak-gerakkan tangannya ke arah dalam seraya memandang audiens. Barangkali berusaha mengajak penonton untuk turut serta menari.

Erlend dengan bahasa isyarat itu menghantarkan beberapa gadis belia yang duduk di depan untuk nekad berlarian ke atas panggung. Keamanan sejenak dibuat lebih siaga.

Mereka berdua membiarkan hal itu terjadi. Tetap tenang dan sempurna menuntaskan tembang pamungkas itu. Hingga satu-persatu dileraikan dan diantarkan turun kembali oleh para petugas keamanan.

Hingga usai dan keduanya berpamitan seraya mengucapkan terima kasih kepada hadirin. Disambut riuh rendah tepukan, sorak sorai, dan sesiulan yang seperti tiada akan ada habisnya.

Audiens rupanya tidak tinggal diam. “We want more! We want more! .. Begitu terus mereka teriakkan. Meminta penampilan ekstra. Selang beberapa menit kemudian. Antara ragu dan harapan di sisi penonton, Erlend dan Eirik kembali muncul dari balik panggung. Saat yang begitu membahagiakan bagi audiens. Tidak disangka jua.


Brave New World. Lagu dari album pertama kemudian dipilih KOC. Kali ini, audiens semakin mendekati panggung.

Malam itu, di Bandung, seakan KOC betul-betul ingin memuaskan harapan segenap hadirin. KOC menambah satu penampilan lagi. Kali ini mereka tidak akan menyanyi maupun mendentingkan gitar ataupun pianonya. Melainkan, menari bersama diiringi I Don’t Know What I Can Save You From (Royksopp Remix). Sebuah nomor yang masuk ke dalam debut single-cd (Failure) serta dalam debut DJ-album KOC (Versus), album ke-3, yang ditelurkan pada tahun yang sama yakni, 2001.

Eirik dan Erlend lalu bergantian menari di tepian kanan-kiri panggung. Menjumpai lebih dekat penggemarnya. Bahkan mereka berdua dan audiens saling memotret. Erlend meminjam kamera seorang panitia di balik panggung. Balik memotret audiens.


Begitu lagu usai. Duo berpamitan dan meninggalkan area panggung. Tepukan dan tatapan mata penonton masih tersisa. Masih mematut pada panggung yang kini kosong. Tanpa sang duo raja: Kings Of Convenience.

salam,.

my>k

Permalink 1 Comment