Krisna Murti, Pencatat Sejarah yang Bersejarah

September 24, 2008 at 1:47 pm (Journal, VideoArt) (, , , , , , , , , , , , , , , , , , )

Tulisan III

Judul :

Krisna Murti,

Pencatat Sejarah yang Bersejarah

Peta seni video di tanah air tak lepas dari nama yang satu ini, Krisna Murti. Dikenal di manca negara, ia memulai debut karya video di Bandung pada awal dekade 90-an. Di tangannya, lahir karya-karya video yang mengutamakan riset, eksplorasi, dan kedekatan terhadap masyarakat beserta problematikanya.

***

Video adalah bahasa yang lebih cocok dan kemungkinan lebih kaya,” tutur Krisna saat ditanya alasan berkarya lewat video.

Seperti yang pernah dicatat VideoLAB, Krisna menyebutkan bahwa lewat video, waktu dan proses dialami atau dijalani, bukan dikonsepkan atau digambarkan. Pelaku dan penonton dilibatkan dalam waktu, ruang, peristiwa secara fisik dan non fisik. Video bukanlah end product tetapi aktivitas merekam, menayangkan dan menyunting secara simultan atau kombinasi dari aktivitas-aktivitas tersebut.

Krisna mengaku, ia sangat mementingkan tahap riset sebelum berkarya. Pada tulisan sama dalam blog VideoLAB, ia berkata, “Artinya, saya bukan termasuk seniman yang mengekspresikan emosi, tetapi lebih eksploratif dan cenderung rasional.”

Proses riset yang ia lakukan pernah berjalan dua tahun bahkan sebulan saja. Misalnya, Makanan Tidak Mengenal Ras. Riset untuk karya itu berlangsung selama setahun. Dengan pendekatan antropologi, visual culture, dan kuliner, ia melakukan riset lapangan, wawancara, observasi, juga literatur. Dalam tulisan di Republika, Krisna dicatat pernah mendatangi sekolah-sekolah seperti SMPN Cihaurgeulis di pinggiran Kabupaten Indramayu dalam rangka penyusunan karya ini.

Makanan Tidak Mengenal Ras yang dipamerkan di Rumah Cemeti Jogjakarta (1999) itu mempertanyakan 12 jenis makanan lokal sebagai makanan hibrida pada kesadaran masyarakat. Dalam kurasinya saat itu, ia menyebutkan, makanan dalam wacana kuliner adalah perkara menggoyang lidah dan ransum perut. Rasanya tidak ada yang lebih dari itu. Apakah benar itu? Asumsinya, ada dua hal penting dalam wacana ini: refleksi dari perilaku dan ransum hati dan otak. Krisna kemudian mengedepankan pertanyaan kepada publik tentang kebenarannya dalam realitas sosiologis di negeri ini.

Setelah melakukan observasi dan riset lapangannya, ia terkejut mendapati tak kurang dari 12 macam santapan sehari-hari yang berkemungkinan hasil adaptasi: makanan hibrida. Contohnya Bakmi Goreng Jawa yang telah menjadi hidangan lokal. Makanan ini disebut Krisna mengalami sinergi kebudayaan yang cerdas karena tidak memperlihatkan siapa mempengaruhi siapa. Semacam akulturasi.

Krisna menambahkan, “Ketika orang menyantap hidangan tersebut, yang ada dalam benaknya adalah enak atau tidak enak, bukanlah mencari-cari alasan sentimen ras atau diskriminasi etnik.”

Karya yang dalam judul versi bahasa Inggris disebut Foodstuffs are Ethnics, Never Rasist ini hanyalah satu di antara sekitar 40 karya video yang telah dilahirkannya. Karya yang telah melanglangbuana dari Osaka hingga Berlin ini digagas untuk menelaah serta menguji mitos dan sejarah. Dimana Krisna juga membenturkannya dengan rekayasa politik dan mencari relasinya dengan budaya TV dan dunia hiburan.

Dengan memasang instalasi 12 kloset berwarna pink dan warna mencolok lainnya dalam pemerannya, Krisna menempelkan deretan tulisan mitos suatu jenis makanan pada tutupnya. Sementara pada lubangnya, ia letakkan sejenis lapisan bergambar jenis makanannya. Ada bakmi goreng jawa, makaroni skotel, gule kambing, kue moci, nasi kebuli, ronde, lontong kari, bestik komplit, martabak asin, lumpia, resoles, pastel, kroket, dan bakso tahu.

Di kanan kirinya, pada dinding, ditembakkan video berisikan cuplikan siaran memasak di TV dan potongan film propaganda G30S/PKI. Terlepas hasil dubbing atau adegan sebenarnya, artikel dalam situs Kunci-Cultural Studies Centre mencatat, Krisna menayangkan cuplikan adegan Soeharto (diperankan Amaroso Katamsi) yang berkata, “Terlalu banyak makanan asimilasi dalam masyarakat kita, bahkan jenis makanan yang paling lazim kita makan: soto dan lotek. Makanan tidak mengenal diskriminasi, ras atau pembedaan antara yang asli dan tidak asli. Kita adalah bangsa yang kreatif yang selalu menciptakan makanan hibrida baru: tahu sumedang, bakpia pathuk, javanese steak. Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan perut kita, makanan pada dasarnya adalah rasio dari otak dan pikiran. Ia membuat manusia cerdas dan bijaksana.”

Krisna merekam dan memaknai ulang peristiwa dan kondisi yang ia temukan dalam masyarakat lalu mengajak publiknya untuk turut memaknainya ulang. Sebuah ‘pengalaman bersama’ antara pencipta karya seni dan publiknya, demikian situs Kunci mencatat ungkapan Krisna. Dalam artikel yang sama, Krisna menyebutkan, ia sengaja memakai tema makanan supaya semua orang bisa berkomentar dan memberi respon. Supaya karya seninya dekat dengan semua orang. Yang paling penting kemudian bukan karyanya, tetapi proses interaksi dan wacana yang timbul di kepala orang-orang yang menyaksikan karyanya.

Seperti halnya ujaran Krisna yang terpetik dalam arsip VideoLAB, “Yang penting adalah gagasan, komitmen saya pada public interest dan meletakkan pelaku dan penonton sebagai subyek yang sentral dan hidup. Secara harfiah kelihatannya saya melakukan gerakan kreatif yang zig-zag karena saya selalu menghindari style yang bisa menjadi perangkap kontemporerisme.”

Berangkat dari konsep berkesenian seperti itulah, maka tidak mengherankan apabila karya-karyanya kerap mengajak penonton untuk terlibat menjadi partisipan. Seperti pada karya Boo it Yourself (2000). Sebagai plesetan dari slogan Do It Yourself (DIY) yang dekat dengan semangat generasi anti kemapanan, Krisna sesungguhnya memainkan boo dari kata bamboo, bahan dasar pembuatan angklung yang menjadi instalasi alat karyanya.

Saat itu, negeri ini sedang mengalami transisi di banyak hal. Tidak hanya pemerintahan namun juga media dan gejolak di masyarakat sendiri. Kondisi ini dinilai Krisna menimbulkan kegamangan dalam diri masyarakat negeri ini. Bercermin dari kondisi itu, Krisna mengajak penonton untuk melakukan upaya pengenalan diri sendiri dengan menjadi partisipan dalam karyanya itu.

”Ada kegamangan dalam diri bangsa kita sehingga kita menjadi tidak mawas diri dan tidak mengerti apa yang dimaui. Tentu saja begitu, karena kita memang belum mengenali siapa diri kita sendiri dan saya menggunakan kesempatan ini sebagai fasilitas untuk bermain dan belajar mengenali diri sendiri atau self,” tutur Krisna saat itu yang dicatat dalam harian Republika (19/09/00).

Dibagi ke dalam lima kelompok, penonton berinteraksi melalui tiga tahap. Pertama, penonton memasuki tahap berjarak dengan dihadapkannya mereka pada layar video yang memproyeksikan hewan khas transisi musim, tonggeret. Lengkap dengan rekaman suaranya. Tahap berikutnya, seorang pemain biola, Imam D. Kamus, merespon suara dan citraan secara spontan pada saat itu. Harapannya, penonton mulai memasuki tahap yang merangsang pengalaman emosional diri. Baru pada tahap terakhir, penonton berpartisipasi secara fisik dengan membunyikan angklung untuk merespon citraan dan suara pada layar video.

Selain di Galeri Nasional, Jakarta, karya ini pernah ia hadirkan pula di Centre National d’Art Contemporain de Marne la-Vallee–Fermee du Buisson, Paris, Prancis, pada tahun yang sama.

Sebelum memutuskan untuk berkarya di wilayah video, lelaki kelahiran Kupang (1957) ini aktif melukis sesuai studi yang diambilnya di Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB, pada paruh 70-an. Hingga kini, ia masih melukis dan semenjak debut karya videonya pun Krisna tetap mempertahankan perhatiannya dalam menggali dan membongkar wacana humaniora lewat beragam penelusuran, pengkajian, dan persilangan kaidah keilmuan.

Debutnya, 12 Jam dalam Kehidupan Penari Agung Rai yang dipamerkan di Studio R-66, Bandung, mengangkat kehidupan sehari-hari seorang penari di balik panggung. Berbentuk video instalasi dengan konsep filmic time/ actual time yakni, merekam waktu dan tempat saat itu juga, karya ini mencoba menguak sisi perilaku manusia.

Seperti halnya kerangka antropologi yang terasa kental pula dalam karya Objek dari Kampung Nagrak yang sempat diboyongnya ke Bienniale Seni Rupa Jakarta (1993), menggunakan media lesung tua, monitor televisi, ranting pohon, sekam padi, biji-bijian, dan api. Tak ketinggalan pula My Ancestors are Sangiran Man (1997). Karya video instalasi yang menelaah teori ilmu sosial atas kasus spesies-spesies manusia di situs fosil Sangiran, Surakarta. Sebuah kajian hermeneutika dari riset paleo-bioantropologi. Karya ini telah menjadi koleksi publik di Fukuoka Asian Art Museum, Jepang serta tercatat sebagai karya video pertama dari Asia yang dikoleksi di sana, setelah diikutsertakan dalam pameran bersama tri-tahunan pertama di museum setempat (1999).

Baginya, pengkoleksian seperti itu lebih dari screening fee yang dinilainya juga perlu. “Fee itu perlu tapi ngga absolut. Jangan diterapkan tergesa-gesa demi dinamika kreatif,” tuturnya.

Pada tahun 2000, tulisan di Kompas menyebutkan, eksplorasinya dalam karya video instalasi Wayang Machine telah membuat dua jagat berbeda antara wayang kulit dan wayang teknik animasi digital tampak sangat bersahabat. Sebuah karya yang mengangkat relasi teori, konsep dan definisi realitas dan shadow dalam video dan wayang (shadow play).

Secara substansial, ayah dari dua orang putri ini juga pernah melakukan upaya pencarian relasi konsep surga dalam wacana agama dengan spa sebagai bagian gaya hidup masyarakat modern (urban). Pengujian itu menghasilkan suatu formula dimana video sebagai medium terapi menawarkan pemijatan mata untuk invigorating (penyegaran), indulge (pemanjaan diri), dan relaksasi. Formula ini hadir dalam karya Video Spa yang disuguhkannya di Galeri Nasional, Jakarta (2004) serta di Gaya Fusion of Senses Gallery, Ubud, Bali dan 51st Venice Biennial, Indonesian Pavillion, di Venezia, Italy (2005).

Kurasi dalam Biennal Jakarta 2006 menyebutkan, karya-karya video instalasinya menampakkan kecenderungan menyentuh persoalan, tidak hanya seni semata, tapi meluas ke ranah psikologis, sosiologis, antropologis, hingga politis. Karya terbarunya yang mengangkat soal TKW di negeri jiran, yang melukiskan tegangan: di satu sisi mereka ‘merayakan’ tubuhnya dalam kemodernan, sementara disisi lain – dalam pekerjaan domestik —tubuh itu di dalam kendali majikan.

Selain berkarya, Krisna bersama komunitas Jejaring yang diketuainya pada tahun 2002, juga melakukan kerja pengorganisasian seniman dan karya dengan menyelenggarakan The Bandung Film, Video and New Media Arts Festival (BAVF~NAF) pada tahun yang sama. Saat itu ia merasa perlu mulai bergerak sebagai responnya terhadap maraknya seni video di Indonesia yang mulai terjadi dengan mewacanakannya secara lebih luas. Meskipun ia sempat meretrospeksi dalam artikel yang ditulisnya dalam Kompas, saat itu anemo publik belumlah sebesar yang terjadi pada saat ini. Katanya, “Pada kurun waktu ketika diadakan festival seni media internasional pertama di Bandung (bavf~NAF # 1, 2002) denyut nadinya masih sulit terlacak.”

Festival itu mengetengahkan video baik dalam kanal tunggal, perrformance, maupun multimedia. Dalam tulisan di Kompas, tercatat puluhan karya video datang bukan hanya dari seniman lokal namun juga dari Belanda, Finlandia, Amerika serikat, Spanyol, Kuba, Inggris, dan Jepang. Saat itu, Krisna menyebutkan, “Forum itu tidak saja untuk mengukur sejauh mana seni media baru menjadi bahasa baru di Indonesia, tetapi lebih untuk membuktikan kepada dunia luar bahwa teknologi di Indonesia tak hanya berarti barang konsumsi.”

Kepada saya ia pun menegaskan gagasannya, “Video harus dilihat dalam wacana media baru biar tidak terbatas seperti another film.”

Ayah dari dua orang putri ini sendiri lebih sering menyuguhkan karya-karyanya dalam perhelatan video di luar Indonesia. Tak kurang dari 25 forum internasional pernah ia sambangi. Seperti, Two Wonders (1999) saat ia menggarap pameran duet bersama Mikhail Abakumov di Embassy Hall, Moskow.

Pada tahun berikutnya, bersama karya Loosing Face, ia bertemu dengan festival yang baginya paling berkesan, 7th Bienalle of Havana, Kuba. “Saya memamerkan video di negeri sosialis yang miskin, tapi masyarakatnya dinamis dan kreatif,” tuturnya.

Karya video itu ia maksud itu dibuat di Jepang, saat ia mengikuti program residensi untuk artis (1999). Dengan mengenakan kostum penari Bali, ia berjalan-jalan di mall, gedung bioskop, dan lorong kereta api bawah tanah di kota Fukuoka. Menangkap dan merekam ragam reaksi orang yang melihatnya. Mulai dari ekspresi keterkejutan, ketakutan, kebingungan hingga tawa. Wajah Krisna sendiri tidak pernah ditampilkan pada layar, agar sumber rangsangan reaksi orang tersebut tetap tersembunyi. Lewat karya ini, ia mengangkat citra keterlepasan orientasi dan penempatan sebagai siratan makna krisis multidimensi di Indonesia saat itu. Strateginya, mengundang orang untuk terlibat dalam karyanya.

Saya percaya, video adalah sebuah mesin representasi yang sangat efektif dalam memfasilitasi perjalanan orang menuju realitas berbeda. Saya hanya ‘membantu’ mereka untuk mengalami perjalanan mereka, bergantung pada situasi yang mungkin terjadi. Demikian konsep video yang ia tuturkan dalam surat elektroniknya kepada Universes in Universe, 9 Desember 2000.

Selain Biennal Jakarta, baru-baru ini, ia juga ikut dalam festival Festival Oversteek bertajuk Going Digital, Utrech, Belanda. Ia juga diundang ke dalam program artis untuk residensi oleh Lasalle College og the Arts, Singapura.

Dalam berbagai forum diskusi dan seminar, Krisna kerap membagi pemikirannya dalam wilayah seni video. Ia beserta karyanya yang lebih dikenal di luar negeri ini, juga sempat melakukan artist talk dan presentasi karya dalam forum-forum internasional. Di antaranya, 3 Artists di Havana, Kuba (2001), 10 Works of Krisna Murti 1993-2002, di Caceres, Spanyol (2002) dan di beberapa universitas seperti di Institut of Modern Art IMA and Queensland Art College, Australia (2003), serta Art Forum and Visiting Lecture yang bertajuk New Media Art in Indonesia yang lagi-lagi berlangsung di beberapa universitas di Australia termasuk di 24 HR ART Northern Territory Centre for Contemporary Art di kota Darwin.

Dimas Jayasrana, periset di komunitas ruangrupa, Jakarta, dalam perbincangannya dengan saya pernah berkata, “Kalau dulu nggak ada Krisna Murti, mungkin sekarang seni video petanya akan beda. Ia menjadi salah satu ‘fosil’, jadi semuanya kebanyakan mengacu ke dia.”

Sementara itu, Agung Hujatnikajennong menyebut Krisna Murti gigih tampil dengan karya seni video. Sebuah terobosan yang cukup berani, terutama mengingat kemunculannya yang ‘menyimpang’ di tengah gemuruh boom seni lukis yang berlangsung (Kurasi OK Video, 2003).

Kini, Krisna yang berdarah Jawa Bali ini lebih banyak tinggal di Jakarta setelah sebelumnya berdomisili di Bandung. Meskipun demikian, ia masih tercatat sebagai dosen tamu di Program Paska Sarjana Kajian Media Baru di Institut Seni Indonesia (ISI), Jogjakarta.

Sebagai pemerhati seni media, ia menuliskan pula pemikirannya lewat artikel yang dimuat di media massa seperti Kompas, Visual Arts Magazine, dan Art Asia Pacific serta dalam buku Video Publik (1999), terbitan Kanisius, Jogjakarta. Karya tulisnya yang terakhir, Apresiasi Seni Media Baru, diterbitkan Direktorat Kesenian RI, Jakarta (2006).

Merangkum segenap pemikirannya yang pernah ia gulirkan dalam beragam pertemuan dan ruang wacana seni video dan media baru, Krisna dalam wawancara jarak jauhnya bersama saya sempat berkata, “Video merupakan bahasa audio visual yang memungkinkan publik memasuki dunia menonton, dunia interaktivitas dan merekonstruksi realitas yang diinginkan atau diperlukan.”

Ketika ditanya tentang cita-cita dan harapannya bersama seni video untuk selanjutnya, ia berkata, “Bekerja terus, saya sudah merintisnya.”

Generasi baru harus mempunyai capaian lain yang seharusnya lebih tinggi dari saya apalagi akses teknologi semakin besar,” tambahnya kemudian.

Jangan menunggu orang lain, sekarang juga mulai kreatif sekecil apa saja yang penting selalu digulirkan investasi itu,” ujarnya sebagai saran bagi generasi penerus.

***

salam,.

my>k

Permalink Leave a Comment