Kings of Convenience Liputan Konser [Reportage for GATRA magz] Dua Hari bersama Eirik Boe & Erlend Oye, Dua Hari Berbagi Riang & Haru

September 24, 2008 at 2:51 pm (GATRA, Journal, Musique, Reportage) (, , , , , , , , , , , , , , , )

Dua Hari bersama Eirik Boe & Erlend Oye,

Dua Hari Berbagi Riang & Haru

Pertunjukannya di Bandung, begitu dikagumi. Kings of Convenience bertahta di hati para pengagum. Ialah Eirik,pengagum alam, dan Erlend, pengagum figur ibu.

Pesta bagi Fanatik Duo Raja: Kings of Convenience

Menjelang pukul 6 sore, antrian calon penonton begitu panjang. Akan tetapi, mereka tidak bisa mudah memasuki area. Para penjaga melakukan penjagaan ketat. Memeriksa barang bawaan termasuk peraturan yang meresahkan audiens. Tidak boleh membawa kamera.

Para calon penonton terlihat resah. Gusar. “Kok lama banget, sih?” Begitu kira-kira keluhan Anne (23) di tengah antrian.

Alhasil, Cherry Bombshell, band pembuka I, tampil satu jam setelah jadwal berlaku. Seharusnya jam 18.00 menjadi jam 19.00 WIB.

Tak kurang dari 7 lagu dibawakan band bervokalis mungil ini. Termasuk nomor andalan Langkah Peri yang mendapat sambutan meriah.

Sekitar 45 menit berlalu, layar kembali tertutup. Audiens kembali dibuat menunggu.

Di sela-sela itu, sebuah pengumuman terdengar. Meminta audiens untuk berdiri pada saat band selanjutnya tampil. Agar suasana lebih hidup. Namun audiens tidak menanggapi selain tak bergerak. Satu dua sahutan menolak terdengar.

Akhirnya, setelah 15 menit lamanya tidak ada perkembangan, layar kembali dibuka. Kali ini, giliran Pure Saturday, band pembuka II.

Setengah jam lamanya, band ini tak pernah berubah mengesankan penggemarnya karena permainan akustiknya yang kental. Nomor lawas seperti Kosong selalu menggairahkan penonton. Tak ketinggalan Silence yang muncul sebagai tembang penutup.

Saat itu, waktu menunjukkan sekitar pukul 20.30 WIB. Beberapa penonton tampak keluar sejenak untuk sekedar menghisap rokok atau ke kamar kecil. Maklum, di dalam gedung, panitia memberlakukan larangan merokok.

Meskipun harus menanti tak kurang dari setengah jam, penonton tidak rewel. Mereka tetap duduk tenang di tempat masing-masing.

Sementara malam itu, gedung memang sangat padat. Para penonton betul-betul berhimpitan satu sama lain. Tak satupun berdiri. Tentu saja. Kalau berdiri, pastilah akan mengganggu pemandangan yang di belakangnya.

Seperti inilah karakter penonton di Bandung. Paling tidak, dalam acara-acara musik indie seperti ini.

Sejak musik pembuka disuguhkan, audiens tetap tenang duduk. Tidak pada setiap nomor lagu usai dimainkan mereka bertepuktangan meriah. Seperti pada saat kedua band pembuka tersebut tampil. Tidak sedikit audiens terkadang tidak bertepuktangan sama sekali. Ada anggapan, audiens di Bandung adalah penikmat dan pemerhati sejati. Mereka bertepuktangan bila menginginkan. Bukan sekadar formalitas.

Tentu saja sangat berbeda dengan yang terjadi pada giliran Kings of Convenience (KOC). Setiap nomor lagu diberi sambutan hebat. Sebagian besar nomor lagu turut dinyanyikan bersama. Iring-iringan histeria audiens benar-benar mewakili sambutan mereka terhadap penampilan duo ini.

Penampilan Kings of Convenience

Demikianlah tatkala waktu mulai beranjak menuju 21.00 WIB. Layar kembali dibuka. KOC memasuki panggung. Eirik Glambek Bøe (30) disusul Erlend Øye (30). Disambut sangat meriah penonton. Senyum menghiasi kedua wajah mereka. Keduanya langsung meraih gitar akustik masing-masing.

Tanpa basa-basi, duo ini langsung memasuki persembahan pertama mereka. Serentak audiens mengatupkan mulut mereka rapat-rapat. Mulai menyimak penampilan yang sudah dinanti-nantikan.

Nomor pertama untuk malam itu adalah Until You Understand. Single dari single CD yang bertajuk Playing Live in a Room (2000). Audiens masih begitu kalem menyimak idolanya sungguh-sungguh tampil langsung di depan mata. Begitu seterusnya hingga nomor ke-2, Love Is No Big Truth. Yang sebelumnya diselingi tepukan tangan meriah.

Seusainya, terdengar sapaan yang tak terduga. “Kumaha damang?” sapa Eirik. Seraya tersenyum, ia sempat melempar arah pandangnya ke bawah. Teriakan, tepukan tangan, dan siulan muncul menjawabnya. Duo itupun saling melempar pandang. Kedua lesung pipit Eirik masih mengapit senyumannya.

How do you say ‘Yes’?” (Bagaimana untuk bilang ‘Yes’?), lanjut Eirik. Audiens kompak menjawab, “Ya!”

Dicoba ikuti Eirik. Tentu saja dengan aksen british (keinggrisan). Masih disambut meriah penonton.

Melengkapi Eirik, Erlend menanyakan antonimnya. And how do you say ‘No’?” (Dan bagaimana untuk bilang ‘No’?). Jawabannya sudah pasti ‘tidak’. Kali ini, suara audiens tidak terdengar serempak. Setelahnya, Eirik justru mengartikannya lain. Ne.., ujar Eirik.

Terdengar tidak menyerupai sama sekali. Tidak seperti antonimnya. Bahkan diulanginya beberapa kali. Barangkali karena pengucapan penonton tidak terdengar jelas. Terdengar tawa sedikit-sedikit. Barangkali keduanya sama-sama tidak mengerti.

Erlend justru mengucapkan kata lain. Kali ini agak aneh di telinga audiens. Mereka menunggu beberapa saat setelah Erlend mengulanginya. Ciaa.., ujar Erlend. Kurang lebih seperti itulah apabila dituliskan dalam ejaan Bahasa Indonesia.

Do you know what it means? (Tahu apa artinya?) tanya Erlend ke audiens. Ia bertanya sambil mengangkat-angkat kedua belah lengannya seraya memanjangkan bunyi pada suku kata kedua. Ciaa.. Terdengar sesekali gelak tawa di antara audiens. Sementara Eirik dan Erlend sudah senyam-senyum di atas panggung atas ulah jenakanya sendiri.

In our language, it means yes and no in the same time,” (Dalam bahasa kami, artinya ya dan tidak pada waktu bersamaan) tutur Erlend. Membolak-balikkan telapak tangannya. Berlawanan arah. Seakan berusaha menunjukkan kontradiksi (hal kontradiktif). Sementara audiens tengah tenggelam antara gelak tawa, siulan, dan sederet bentuk sorak sorai kecil lainnya. Mengexpresikan respon mereka atas polah jenaka Erlend.

Barangkali ada padanannya. Dalam Bahasa Prancis dikenal comme ci comme ca. Dalam Bahasa Inggris dikenal a kinda/ something like that. Dalam Bahasa Indonesia dikenal nggak juga/ ya, begitulah/ ya, gitu deh.

Di antara gelak tawa itu, Eirik dan Erlend kerap saling melempar pandang. Eirik kemudian mulai mendentingkan dawai-dawai gitarnya. Merangkaikan nada memasuki melodi intro nomor ke-3 malam itu. Penonton kontan menyambut luar biasa.

Sepertinya mereka sudah bisa menebak lagu apa yang akan dibawakan selanjutnya, Cayman Island. Andalan berikutnya dari album terakhir (Riot on An Empty Street) (2004).

Nomor ini tampak mulai menghangatkan suasana. Audiens yang ikut menyanyi lebih berani dan banyak. Agaknya liriknya juga lebih dikuasai audiens.

Setelah disambut meriah, duo ‘raja’ ini langsung membuat medley ke lagu I Don’t Know What I Can Save You From. Sebuah nomor yang muncul dalam album pertama (Kings of Convenience) (2000) dan album ke-2 (Quiet is The New Loud) (2001).

Audiens pun langsung turut menyanyikannya. Pada bridge, audiens tak tahan untuk bertepuktangan mengagumi melodi apik Eirik. Ketika memasuki bridge ke-2, audiens turut memberi ketukan lewat tepukan tangannya. Hingga menuju closing.

Thank you,” ujar Eirik dengan suara yang rendah seraya hanya tersenyum. Penampilannya yang cederung kalem dan hanya melempar senyum justru tampak mengundang kegemasan penonton. Terutama the ladies.. Gelak tawa dan siulan menyertai.

Selanjutnya, nomor yang muncul hampir semuanya datang dari album terakhir KOC. Seperti Winning A Battle, Losing The War dan Gold In The Air Of Summer.

Dalam Gold In The Air of Summer, dentingan tajam piano Erlend membuat penonton terpaku. Seluruh audiens seakan-akan kian tersihir pesona melankolik KOC. Musik yang rasanya muncul dari hati mereka berdua. Menyentuh hati hadirin pula.

Sementara di media area, fotografer yang masih belum boleh memotret hingga nomor ke-11 nanti, tampak turut tersihir.

Pada awalnya, tidak ada yang boleh berada terlalu dekat dengan bibir panggung. Namun, kian lama, semua orang seakan kian terserap ke arah panggung. Selain karena bersiap-siap memotret pula.

Dentingan piano pada nomor ke-7 mulai dimainkan. Kali ini duo juga melakukan medley. Dari album ke-2, KOC memainkan Singing Softly To Me dan The Girl From Back Then berturut-turut. Pada nomor ini penonton sangat riuh. Semakin tergila-gila menyambut.

Erlend mengajak penonton menari. Bergoyang di sana dan di sini. Erlend tampak lebih atraktif dibandingkan Eirik. Ia senang bergerak-gerak. Ia menari dengan gaya yang sangat smooth (lembut). Mengikuti irama dan ketukan lagu.

Seperti ketika kali lain, ketika ia sesekali meletakkan gitarnya pada dudukannya. Saat itu, ia pun menjentik-jentikkan jari-jemari kedua tangannya. Membentuk ketukan. Berjalan ke muka panggung, ke arah penonton. Tersenyum dan tetap memain-mainkan kedua lengan jenjangnya ke sana ke mari.

Ia juga sempat kembali ke piano dan mendentingkan nada-nada tajam nan membawa pendengar untuk semakin larut dan tersentuh.

Sementara Eirik tekun dengan dawaian gitarnya. Di bridge mendekati closing, lagi-lagi Erlend mengajak penonton ikut serta dalam kegilaannya. Ia meminta audiens untuk mengikuti bunyi ‘U’ yang dipanjangkan untuk mengiringi closing lagu ini. Audiens rupanya mengikuti anjurannya. Di sela-selanya, tawa geli audiens dan senyum puas Erlend dan Eirik menghiasi.

Stay Out Of Trouble pun sesuai untuk melanjutkan romantisme ini. Pada nomor ini, audiens serempak mengisi dengan siulan. Menggantikan detil nada yang menjadi ciri khas lagu ini. Yang dalam versi rekamannya secara variatif diisi oleh gesekan cello yang menyayat dan betotan (tarikan) bass yang naik turun. Siulan membuat lagu ini terdengar lebih ceria. Lebih ringan nuansanya.

Lucunya, pada saat interval nada dinaikkan setengah, sesiulan itu mulai simpang siur. Mulai agak sulit diikuti. Namun, toh, audiens tidak menyerah. Mereka yang masih bisa mengikuti nada dasarnya tetap mengiringi hingga usai. Sepanjang lagu ini, keduanya berduet gitar dengan apik. Harmoni penuh. Sinergis energi yang kuat satu sama lainnya.

Suasana melankolik kian menyelimuti manakala Homesick menyambungnya. Pada saat intro mulai dimainkan, audiens sudah histeria. Kemudian seakan dengan begitu khidmat, turut menyanyikannya. Menghayati. Larut dalam suasana. Mengharukan.

Dilanjutkan dengan Know How. Dalam nomor ini, beat (ketukan) terasa lebih kuat. Meskipun melodi yang muncul tetap lembut. Suara audiens pun terdengar sangat merdu melantunkan senandung bersambung lirik. “O..o..oh../ What is there to know?/ Ooh../ All this is what it is/ O..o..oh../ You and me alone/ Sheer simplicity.”


Toxic Girl. Sebuah nomor cantik dari album pertama justru dilanjutkan dengan The Boat Behind. Sebuah nomor single terhitung baru yang belum dirilis. Sementara itu, penonton dan pers mulai mengacungkan kamera. Mengabadikan KOC.

Sebelum melanjutkan ke lagu berikutnya, Erlend justru merasa lapar. Ia pun dengan santainya membuka sebungkus cokelat snickers. Ia kunyah-kunyah seraya duduk dan memangku gitarnya. Memandang Eirik yang di sisi kiri panggung. Sementara Eirik hanya diam berdiri menatap rekannya itu. Tetap dengan senyum yang terjaga di bibirnya. Tetap dengan gitar yang menggantung di bahunya. Gelak tawa penonton kerap terdengar.


Kadang-kadang, sebelum melanjutkan pada lagu selanjutnya, Erlend mendekati Eirik. Mereka berbincang. Tak terdengar. Gerak mulutnya pun nyaris tak terlihat.

Seperti saat mereka akan memasuki nomor ke-13 ini. Kali ini, duo berbincang cukup lama. Dengan expresi yang tak bisa ditebak. Namun cukup mengundang beberapa siulan jahil dari arah audiens. Namun keduanya tak terpengaruh. Mereka tetap berbincang. Hingga akhirnya, Eirik tampil tunggal menyanyikan Garota de Ipanema. Girl from Ipanema versi Bahasa Portugis. Mengundang sambutan meriah para penonton.

Erlend yang tak bisa tinggal diam. Kali ini ia kembali mengundang gelak tawa penonton. Dengan lagak bak pemain terompet piawai. Ia mengambangkan kedua lengannya di depan dadanya. Sebuah imajinasi seolah-olah ia sedang memainkan tuts-tuts terompet. Sementara seuntaian suara terompet mengiringi lagu ini. Suara itu hasil rekayasa olah suaranya. Bibir, lidah, seluruh rongga mulut dan perutnya mencipta bunyi terompet yang amat menyerupai aslinya. Kembali, Erlend yang gila lagi jenaka polahnya.


Dilanjutkan dengan
Misread. Satu lagi nomor terfavorit yang membuat audiens terdengar hapal luar kepala sepanjang syairnya. Dilanjutkan dengan Little Kids dari album ke-2.

Ia mengayun-ayunkan microfon lewat untaian kabelnya. Perlahan dan lembut mengikuti irama. Mengajak audiens menikmati musiknya. Membuat mereka juga histeris.

Akhirnya tibalah di nomor terakhir. Ketika Erlend berkata, Here we go. The last song from us.” (Baiklah,. Ini lagu terakhir dari kami.”) Segera disongsong nada kecewa dari penonton.

Di nomor bakal penutup ini, Erlend kembali meletakkan gitar akustiknya. Sebelumnya Erlend berkata, It’s so great to be here. To have everyone’s singing together. As it’s so great the time when we’re have a fun time and meet friends from school. And sing together. And dance together,..” (Sungguh menyenangkan berada di sini. Semua orang bernyanyi. Sebahagia saat kita dalam masa yang menyenangkan. Dan bertemu teman sekolah. Dan bernyanyi bersama. Menari bersama,..” tutur Erlend.

Seraya Eirik mulai mendentingkan intro lagu selanjutnya, Erlend melanjutkan. So, I’d rather dance with you than play music for you.” (Jadi, lebih baik saya berdansa denganmu daripada bermain musik untukmu). Serentak audiens menyadari lagu pamungkas yang akan dibawakan. I’d Rather Dance with You. Lagi, hits dari album terakhir KOC.

Ia berjalan ke arah penonton mengikuti ketukan irama lagu. Dengan gerakannya yang lembut seakan langkah demi langkahnya mengalun.

Pada kesempatan itu, hap! Seorang gadis mungil, gemuk nan manis diajaknya naik ke atas panggung. Menari bersama. Berhadapan begitu dekat. Sejenak audiens bersorak-sorai riuh. Antara terpukau dan cemburu. Erlend dan gadis yang tersenyum lebar dan menari-nari kecil itu tetap mengikuti irama.

Demikianlah dan keduanya kembali ke tampatnya semula. Erlend kemudian seraya masih menari-nari di tempat, kini turut pula menyanyi bersama Eirik. Memukau hadirin.

Saat seperti itu, Erlend kerap mengangkat-angkat lengannya. Menggerak-gerakkan tangannya ke arah dalam seraya memandang audiens. Barangkali berusaha mengajak penonton untuk turut serta menari.

Erlend dengan bahasa isyarat itu menghantarkan beberapa gadis belia yang duduk di depan untuk nekad berlarian ke atas panggung. Keamanan sejenak dibuat lebih siaga.

Mereka berdua membiarkan hal itu terjadi. Tetap tenang dan sempurna menuntaskan tembang pamungkas itu. Hingga satu-persatu dileraikan dan diantarkan turun kembali oleh para petugas keamanan.

Hingga usai dan keduanya berpamitan seraya mengucapkan terima kasih kepada hadirin. Disambut riuh rendah tepukan, sorak sorai, dan sesiulan yang seperti tiada akan ada habisnya.

Audiens rupanya tidak tinggal diam. “We want more! We want more! .. Begitu terus mereka teriakkan. Meminta penampilan ekstra. Selang beberapa menit kemudian. Antara ragu dan harapan di sisi penonton, Erlend dan Eirik kembali muncul dari balik panggung. Saat yang begitu membahagiakan bagi audiens. Tidak disangka jua.


Brave New World. Lagu dari album pertama kemudian dipilih KOC. Kali ini, audiens semakin mendekati panggung.

Malam itu, di Bandung, seakan KOC betul-betul ingin memuaskan harapan segenap hadirin. KOC menambah satu penampilan lagi. Kali ini mereka tidak akan menyanyi maupun mendentingkan gitar ataupun pianonya. Melainkan, menari bersama diiringi I Don’t Know What I Can Save You From (Royksopp Remix). Sebuah nomor yang masuk ke dalam debut single-cd (Failure) serta dalam debut DJ-album KOC (Versus), album ke-3, yang ditelurkan pada tahun yang sama yakni, 2001.

Eirik dan Erlend lalu bergantian menari di tepian kanan-kiri panggung. Menjumpai lebih dekat penggemarnya. Bahkan mereka berdua dan audiens saling memotret. Erlend meminjam kamera seorang panitia di balik panggung. Balik memotret audiens.


Begitu lagu usai. Duo berpamitan dan meninggalkan area panggung. Tepukan dan tatapan mata penonton masih tersisa. Masih mematut pada panggung yang kini kosong. Tanpa sang duo raja: Kings Of Convenience.

salam,.

my>k

Permalink 1 Comment

Krisna Murti, Pencatat Sejarah yang Bersejarah

September 24, 2008 at 1:47 pm (Journal, VideoArt) (, , , , , , , , , , , , , , , , , , )

Tulisan III

Judul :

Krisna Murti,

Pencatat Sejarah yang Bersejarah

Peta seni video di tanah air tak lepas dari nama yang satu ini, Krisna Murti. Dikenal di manca negara, ia memulai debut karya video di Bandung pada awal dekade 90-an. Di tangannya, lahir karya-karya video yang mengutamakan riset, eksplorasi, dan kedekatan terhadap masyarakat beserta problematikanya.

***

Video adalah bahasa yang lebih cocok dan kemungkinan lebih kaya,” tutur Krisna saat ditanya alasan berkarya lewat video.

Seperti yang pernah dicatat VideoLAB, Krisna menyebutkan bahwa lewat video, waktu dan proses dialami atau dijalani, bukan dikonsepkan atau digambarkan. Pelaku dan penonton dilibatkan dalam waktu, ruang, peristiwa secara fisik dan non fisik. Video bukanlah end product tetapi aktivitas merekam, menayangkan dan menyunting secara simultan atau kombinasi dari aktivitas-aktivitas tersebut.

Krisna mengaku, ia sangat mementingkan tahap riset sebelum berkarya. Pada tulisan sama dalam blog VideoLAB, ia berkata, “Artinya, saya bukan termasuk seniman yang mengekspresikan emosi, tetapi lebih eksploratif dan cenderung rasional.”

Proses riset yang ia lakukan pernah berjalan dua tahun bahkan sebulan saja. Misalnya, Makanan Tidak Mengenal Ras. Riset untuk karya itu berlangsung selama setahun. Dengan pendekatan antropologi, visual culture, dan kuliner, ia melakukan riset lapangan, wawancara, observasi, juga literatur. Dalam tulisan di Republika, Krisna dicatat pernah mendatangi sekolah-sekolah seperti SMPN Cihaurgeulis di pinggiran Kabupaten Indramayu dalam rangka penyusunan karya ini.

Makanan Tidak Mengenal Ras yang dipamerkan di Rumah Cemeti Jogjakarta (1999) itu mempertanyakan 12 jenis makanan lokal sebagai makanan hibrida pada kesadaran masyarakat. Dalam kurasinya saat itu, ia menyebutkan, makanan dalam wacana kuliner adalah perkara menggoyang lidah dan ransum perut. Rasanya tidak ada yang lebih dari itu. Apakah benar itu? Asumsinya, ada dua hal penting dalam wacana ini: refleksi dari perilaku dan ransum hati dan otak. Krisna kemudian mengedepankan pertanyaan kepada publik tentang kebenarannya dalam realitas sosiologis di negeri ini.

Setelah melakukan observasi dan riset lapangannya, ia terkejut mendapati tak kurang dari 12 macam santapan sehari-hari yang berkemungkinan hasil adaptasi: makanan hibrida. Contohnya Bakmi Goreng Jawa yang telah menjadi hidangan lokal. Makanan ini disebut Krisna mengalami sinergi kebudayaan yang cerdas karena tidak memperlihatkan siapa mempengaruhi siapa. Semacam akulturasi.

Krisna menambahkan, “Ketika orang menyantap hidangan tersebut, yang ada dalam benaknya adalah enak atau tidak enak, bukanlah mencari-cari alasan sentimen ras atau diskriminasi etnik.”

Karya yang dalam judul versi bahasa Inggris disebut Foodstuffs are Ethnics, Never Rasist ini hanyalah satu di antara sekitar 40 karya video yang telah dilahirkannya. Karya yang telah melanglangbuana dari Osaka hingga Berlin ini digagas untuk menelaah serta menguji mitos dan sejarah. Dimana Krisna juga membenturkannya dengan rekayasa politik dan mencari relasinya dengan budaya TV dan dunia hiburan.

Dengan memasang instalasi 12 kloset berwarna pink dan warna mencolok lainnya dalam pemerannya, Krisna menempelkan deretan tulisan mitos suatu jenis makanan pada tutupnya. Sementara pada lubangnya, ia letakkan sejenis lapisan bergambar jenis makanannya. Ada bakmi goreng jawa, makaroni skotel, gule kambing, kue moci, nasi kebuli, ronde, lontong kari, bestik komplit, martabak asin, lumpia, resoles, pastel, kroket, dan bakso tahu.

Di kanan kirinya, pada dinding, ditembakkan video berisikan cuplikan siaran memasak di TV dan potongan film propaganda G30S/PKI. Terlepas hasil dubbing atau adegan sebenarnya, artikel dalam situs Kunci-Cultural Studies Centre mencatat, Krisna menayangkan cuplikan adegan Soeharto (diperankan Amaroso Katamsi) yang berkata, “Terlalu banyak makanan asimilasi dalam masyarakat kita, bahkan jenis makanan yang paling lazim kita makan: soto dan lotek. Makanan tidak mengenal diskriminasi, ras atau pembedaan antara yang asli dan tidak asli. Kita adalah bangsa yang kreatif yang selalu menciptakan makanan hibrida baru: tahu sumedang, bakpia pathuk, javanese steak. Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan perut kita, makanan pada dasarnya adalah rasio dari otak dan pikiran. Ia membuat manusia cerdas dan bijaksana.”

Krisna merekam dan memaknai ulang peristiwa dan kondisi yang ia temukan dalam masyarakat lalu mengajak publiknya untuk turut memaknainya ulang. Sebuah ‘pengalaman bersama’ antara pencipta karya seni dan publiknya, demikian situs Kunci mencatat ungkapan Krisna. Dalam artikel yang sama, Krisna menyebutkan, ia sengaja memakai tema makanan supaya semua orang bisa berkomentar dan memberi respon. Supaya karya seninya dekat dengan semua orang. Yang paling penting kemudian bukan karyanya, tetapi proses interaksi dan wacana yang timbul di kepala orang-orang yang menyaksikan karyanya.

Seperti halnya ujaran Krisna yang terpetik dalam arsip VideoLAB, “Yang penting adalah gagasan, komitmen saya pada public interest dan meletakkan pelaku dan penonton sebagai subyek yang sentral dan hidup. Secara harfiah kelihatannya saya melakukan gerakan kreatif yang zig-zag karena saya selalu menghindari style yang bisa menjadi perangkap kontemporerisme.”

Berangkat dari konsep berkesenian seperti itulah, maka tidak mengherankan apabila karya-karyanya kerap mengajak penonton untuk terlibat menjadi partisipan. Seperti pada karya Boo it Yourself (2000). Sebagai plesetan dari slogan Do It Yourself (DIY) yang dekat dengan semangat generasi anti kemapanan, Krisna sesungguhnya memainkan boo dari kata bamboo, bahan dasar pembuatan angklung yang menjadi instalasi alat karyanya.

Saat itu, negeri ini sedang mengalami transisi di banyak hal. Tidak hanya pemerintahan namun juga media dan gejolak di masyarakat sendiri. Kondisi ini dinilai Krisna menimbulkan kegamangan dalam diri masyarakat negeri ini. Bercermin dari kondisi itu, Krisna mengajak penonton untuk melakukan upaya pengenalan diri sendiri dengan menjadi partisipan dalam karyanya itu.

”Ada kegamangan dalam diri bangsa kita sehingga kita menjadi tidak mawas diri dan tidak mengerti apa yang dimaui. Tentu saja begitu, karena kita memang belum mengenali siapa diri kita sendiri dan saya menggunakan kesempatan ini sebagai fasilitas untuk bermain dan belajar mengenali diri sendiri atau self,” tutur Krisna saat itu yang dicatat dalam harian Republika (19/09/00).

Dibagi ke dalam lima kelompok, penonton berinteraksi melalui tiga tahap. Pertama, penonton memasuki tahap berjarak dengan dihadapkannya mereka pada layar video yang memproyeksikan hewan khas transisi musim, tonggeret. Lengkap dengan rekaman suaranya. Tahap berikutnya, seorang pemain biola, Imam D. Kamus, merespon suara dan citraan secara spontan pada saat itu. Harapannya, penonton mulai memasuki tahap yang merangsang pengalaman emosional diri. Baru pada tahap terakhir, penonton berpartisipasi secara fisik dengan membunyikan angklung untuk merespon citraan dan suara pada layar video.

Selain di Galeri Nasional, Jakarta, karya ini pernah ia hadirkan pula di Centre National d’Art Contemporain de Marne la-Vallee–Fermee du Buisson, Paris, Prancis, pada tahun yang sama.

Sebelum memutuskan untuk berkarya di wilayah video, lelaki kelahiran Kupang (1957) ini aktif melukis sesuai studi yang diambilnya di Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB, pada paruh 70-an. Hingga kini, ia masih melukis dan semenjak debut karya videonya pun Krisna tetap mempertahankan perhatiannya dalam menggali dan membongkar wacana humaniora lewat beragam penelusuran, pengkajian, dan persilangan kaidah keilmuan.

Debutnya, 12 Jam dalam Kehidupan Penari Agung Rai yang dipamerkan di Studio R-66, Bandung, mengangkat kehidupan sehari-hari seorang penari di balik panggung. Berbentuk video instalasi dengan konsep filmic time/ actual time yakni, merekam waktu dan tempat saat itu juga, karya ini mencoba menguak sisi perilaku manusia.

Seperti halnya kerangka antropologi yang terasa kental pula dalam karya Objek dari Kampung Nagrak yang sempat diboyongnya ke Bienniale Seni Rupa Jakarta (1993), menggunakan media lesung tua, monitor televisi, ranting pohon, sekam padi, biji-bijian, dan api. Tak ketinggalan pula My Ancestors are Sangiran Man (1997). Karya video instalasi yang menelaah teori ilmu sosial atas kasus spesies-spesies manusia di situs fosil Sangiran, Surakarta. Sebuah kajian hermeneutika dari riset paleo-bioantropologi. Karya ini telah menjadi koleksi publik di Fukuoka Asian Art Museum, Jepang serta tercatat sebagai karya video pertama dari Asia yang dikoleksi di sana, setelah diikutsertakan dalam pameran bersama tri-tahunan pertama di museum setempat (1999).

Baginya, pengkoleksian seperti itu lebih dari screening fee yang dinilainya juga perlu. “Fee itu perlu tapi ngga absolut. Jangan diterapkan tergesa-gesa demi dinamika kreatif,” tuturnya.

Pada tahun 2000, tulisan di Kompas menyebutkan, eksplorasinya dalam karya video instalasi Wayang Machine telah membuat dua jagat berbeda antara wayang kulit dan wayang teknik animasi digital tampak sangat bersahabat. Sebuah karya yang mengangkat relasi teori, konsep dan definisi realitas dan shadow dalam video dan wayang (shadow play).

Secara substansial, ayah dari dua orang putri ini juga pernah melakukan upaya pencarian relasi konsep surga dalam wacana agama dengan spa sebagai bagian gaya hidup masyarakat modern (urban). Pengujian itu menghasilkan suatu formula dimana video sebagai medium terapi menawarkan pemijatan mata untuk invigorating (penyegaran), indulge (pemanjaan diri), dan relaksasi. Formula ini hadir dalam karya Video Spa yang disuguhkannya di Galeri Nasional, Jakarta (2004) serta di Gaya Fusion of Senses Gallery, Ubud, Bali dan 51st Venice Biennial, Indonesian Pavillion, di Venezia, Italy (2005).

Kurasi dalam Biennal Jakarta 2006 menyebutkan, karya-karya video instalasinya menampakkan kecenderungan menyentuh persoalan, tidak hanya seni semata, tapi meluas ke ranah psikologis, sosiologis, antropologis, hingga politis. Karya terbarunya yang mengangkat soal TKW di negeri jiran, yang melukiskan tegangan: di satu sisi mereka ‘merayakan’ tubuhnya dalam kemodernan, sementara disisi lain – dalam pekerjaan domestik —tubuh itu di dalam kendali majikan.

Selain berkarya, Krisna bersama komunitas Jejaring yang diketuainya pada tahun 2002, juga melakukan kerja pengorganisasian seniman dan karya dengan menyelenggarakan The Bandung Film, Video and New Media Arts Festival (BAVF~NAF) pada tahun yang sama. Saat itu ia merasa perlu mulai bergerak sebagai responnya terhadap maraknya seni video di Indonesia yang mulai terjadi dengan mewacanakannya secara lebih luas. Meskipun ia sempat meretrospeksi dalam artikel yang ditulisnya dalam Kompas, saat itu anemo publik belumlah sebesar yang terjadi pada saat ini. Katanya, “Pada kurun waktu ketika diadakan festival seni media internasional pertama di Bandung (bavf~NAF # 1, 2002) denyut nadinya masih sulit terlacak.”

Festival itu mengetengahkan video baik dalam kanal tunggal, perrformance, maupun multimedia. Dalam tulisan di Kompas, tercatat puluhan karya video datang bukan hanya dari seniman lokal namun juga dari Belanda, Finlandia, Amerika serikat, Spanyol, Kuba, Inggris, dan Jepang. Saat itu, Krisna menyebutkan, “Forum itu tidak saja untuk mengukur sejauh mana seni media baru menjadi bahasa baru di Indonesia, tetapi lebih untuk membuktikan kepada dunia luar bahwa teknologi di Indonesia tak hanya berarti barang konsumsi.”

Kepada saya ia pun menegaskan gagasannya, “Video harus dilihat dalam wacana media baru biar tidak terbatas seperti another film.”

Ayah dari dua orang putri ini sendiri lebih sering menyuguhkan karya-karyanya dalam perhelatan video di luar Indonesia. Tak kurang dari 25 forum internasional pernah ia sambangi. Seperti, Two Wonders (1999) saat ia menggarap pameran duet bersama Mikhail Abakumov di Embassy Hall, Moskow.

Pada tahun berikutnya, bersama karya Loosing Face, ia bertemu dengan festival yang baginya paling berkesan, 7th Bienalle of Havana, Kuba. “Saya memamerkan video di negeri sosialis yang miskin, tapi masyarakatnya dinamis dan kreatif,” tuturnya.

Karya video itu ia maksud itu dibuat di Jepang, saat ia mengikuti program residensi untuk artis (1999). Dengan mengenakan kostum penari Bali, ia berjalan-jalan di mall, gedung bioskop, dan lorong kereta api bawah tanah di kota Fukuoka. Menangkap dan merekam ragam reaksi orang yang melihatnya. Mulai dari ekspresi keterkejutan, ketakutan, kebingungan hingga tawa. Wajah Krisna sendiri tidak pernah ditampilkan pada layar, agar sumber rangsangan reaksi orang tersebut tetap tersembunyi. Lewat karya ini, ia mengangkat citra keterlepasan orientasi dan penempatan sebagai siratan makna krisis multidimensi di Indonesia saat itu. Strateginya, mengundang orang untuk terlibat dalam karyanya.

Saya percaya, video adalah sebuah mesin representasi yang sangat efektif dalam memfasilitasi perjalanan orang menuju realitas berbeda. Saya hanya ‘membantu’ mereka untuk mengalami perjalanan mereka, bergantung pada situasi yang mungkin terjadi. Demikian konsep video yang ia tuturkan dalam surat elektroniknya kepada Universes in Universe, 9 Desember 2000.

Selain Biennal Jakarta, baru-baru ini, ia juga ikut dalam festival Festival Oversteek bertajuk Going Digital, Utrech, Belanda. Ia juga diundang ke dalam program artis untuk residensi oleh Lasalle College og the Arts, Singapura.

Dalam berbagai forum diskusi dan seminar, Krisna kerap membagi pemikirannya dalam wilayah seni video. Ia beserta karyanya yang lebih dikenal di luar negeri ini, juga sempat melakukan artist talk dan presentasi karya dalam forum-forum internasional. Di antaranya, 3 Artists di Havana, Kuba (2001), 10 Works of Krisna Murti 1993-2002, di Caceres, Spanyol (2002) dan di beberapa universitas seperti di Institut of Modern Art IMA and Queensland Art College, Australia (2003), serta Art Forum and Visiting Lecture yang bertajuk New Media Art in Indonesia yang lagi-lagi berlangsung di beberapa universitas di Australia termasuk di 24 HR ART Northern Territory Centre for Contemporary Art di kota Darwin.

Dimas Jayasrana, periset di komunitas ruangrupa, Jakarta, dalam perbincangannya dengan saya pernah berkata, “Kalau dulu nggak ada Krisna Murti, mungkin sekarang seni video petanya akan beda. Ia menjadi salah satu ‘fosil’, jadi semuanya kebanyakan mengacu ke dia.”

Sementara itu, Agung Hujatnikajennong menyebut Krisna Murti gigih tampil dengan karya seni video. Sebuah terobosan yang cukup berani, terutama mengingat kemunculannya yang ‘menyimpang’ di tengah gemuruh boom seni lukis yang berlangsung (Kurasi OK Video, 2003).

Kini, Krisna yang berdarah Jawa Bali ini lebih banyak tinggal di Jakarta setelah sebelumnya berdomisili di Bandung. Meskipun demikian, ia masih tercatat sebagai dosen tamu di Program Paska Sarjana Kajian Media Baru di Institut Seni Indonesia (ISI), Jogjakarta.

Sebagai pemerhati seni media, ia menuliskan pula pemikirannya lewat artikel yang dimuat di media massa seperti Kompas, Visual Arts Magazine, dan Art Asia Pacific serta dalam buku Video Publik (1999), terbitan Kanisius, Jogjakarta. Karya tulisnya yang terakhir, Apresiasi Seni Media Baru, diterbitkan Direktorat Kesenian RI, Jakarta (2006).

Merangkum segenap pemikirannya yang pernah ia gulirkan dalam beragam pertemuan dan ruang wacana seni video dan media baru, Krisna dalam wawancara jarak jauhnya bersama saya sempat berkata, “Video merupakan bahasa audio visual yang memungkinkan publik memasuki dunia menonton, dunia interaktivitas dan merekonstruksi realitas yang diinginkan atau diperlukan.”

Ketika ditanya tentang cita-cita dan harapannya bersama seni video untuk selanjutnya, ia berkata, “Bekerja terus, saya sudah merintisnya.”

Generasi baru harus mempunyai capaian lain yang seharusnya lebih tinggi dari saya apalagi akses teknologi semakin besar,” tambahnya kemudian.

Jangan menunggu orang lain, sekarang juga mulai kreatif sekecil apa saja yang penting selalu digulirkan investasi itu,” ujarnya sebagai saran bagi generasi penerus.

***

salam,.

my>k

Permalink Leave a Comment