Kings of Convenience Liputan Konser (4) : Limited Press Conference in a Lunch with KOC

September 24, 2008 at 3:21 pm (GATRA, Journal, Musique, Reportage) (, , , , , , , , )

Hari II

Senin, 20 Maret 2006

Ranca Bentang. Sebuah rumah di sisi kiri Hotel Malya.

Acara Makan Siang bersama K.O.C. Acara makan siang (ramah tamah) yang dihadiri oleh kalangan sangat terbatas. Kalangan panitia yakni dari FFWD dan teman-teman terdekat mereka.

Pers yang diundang hanya dari STV dan Radio Oz. Namun ternyata hadir pula dari media Ripple Magazine. Sebuah media yang baik secara saham maupun redaksi masih dikelola oleh lingkungan yang sama.

**

Sebelum menghadiri acara makan siang, Eirik dan Erlend menyempatkan diri berjalan-jalan. Berputar-putar di kota Bandung. Ditemani oleh panitia bersangkutan. Erlend dikabarkan sangat gila dan menikmati perjalanan itu.

**

Sekitar pukul 13.00 WIB, rombongan KOC tiba juga di rumah itu. Mereka sudah menyelesaikan proses check out-nya. Kami yang sudah menanti di beranda belakang, bersamanya saling menyapa.

Erlend datang lebih dahulu. Sementara Eirik bersama manajernya, menyusulnya dari arah masuk yang berbeda.

Erlend kemudian diberi sekantong bingkisan. Isinya tak lain adalah t-shirt distro Monik. Distro yang dikelola masih oleh lingkungan yang sama. Ia asyik melihat-lihat.

Eirik seperti biasa, senyam-senyum melihat temannya membuka-buka kado itu. Suasananya begitu santai. Yang lain tampak mengobrol satu sama lain. Justru tiba-tiba, Eirik sudah berada di samping saya. Saat itu, ia mengobrol dengan Erlend dan juga manajernya.

Tiba-tiba Eirik terkesan dengan bunyi mendengung yang terdengar olehnya di rumah itu. Dari arah lembah yang berdampingan dengan tempat kami. Suara hewan itu berdengung nyaring sepanjang waktu. Eirik kemudian menanyakan suara apakah itu. Setelah diberi tahu bahwa itu suara riang. Hewan sejenis serangga. Kecil. Hampir seperti lebah. Barulah ia tersenyum lebar. Kedua lesung pipitnya muncul bersamaan. Semalam ia pikir, itu suara mesin.

Last night, I thought it was a sound of machine,” (Semalam, saya pikir itu suara mesin) ujarnya. Ia telah mendengarnya semalaman saat menginap di Hotel Malya, Bandung.

Tak lama kemudian, Eirik dan saya sudah mulai membuka percakapan.

Eirik mengatakan bahwa ia senang bisa berputar-putar di kota Bandung. Ia terkagum-kagum dengan begitu banyaknya pohon di Kota Bandung. Terutama warna hijaunya yang menurutnya aneh. Tak seperti warna hijau yang biasa ia lihat. Unik.

In Bandung, there’s so much trees. And the green colour of the leaves of the trees is so strange. So different. It is unusual green. I like it. It’s a green kind that I’m not use to see,” (Di Bandung, ada begitu banyak pohon. Dan warna hijau daunnya begitu aneh. Begitu berbeda. Bukan hijau yang biasanya. Saya suka. Bukan jenis hijau yang biasa saya lihat) ujar Eirik berkomentar.

Eirik juga berpendapat bahwa tidak ada banyak dan tidak ada cukup luas trotoar di Bandung. Sehingga tidak bisa dengan berjalan-jalan untuk melihat kota. Melainkan dengan berkendara.

There is not enough trotoar in Bandung. We can not walking around. But we driving around,” (Di Bandung, tidak ada banyak dan cukup luas trotoar. Jadi tidak mungkin berjalan-jalan kaki. Kami harus berkendara) ujarnya.

Namun, sungguh amat disayangkan. Obrolan yang mulai terbangun manis itu harus dipotong dahulu. Makan siang telah siap. Teman-teman mulai turut mempersilahkan saya ikut serta.

Saat makan siang, posisi saya tidak menguntungkan. Yang berkumpul sangat banyak. Di meja makan duduk duo favorit itu. Namun, kursi lainnya sudah pula cukup terisi. Akhirnya saya harus sedikit bersabar untuk bisa bergabung lebih dekat dengan keduanya itu.

Akhirnya, selepas mengambil air mineral, saya mulai bergabung di meja makan yang sudah agak kosong.

Rupanya, Eirik dan Erlend sedang terheran-heran dengan begitu banyaknya anak-anak yang tidur dan mengamen di jalanan. Begitu banyak gelandangan. Pemandangan yang mengherankan. Setelah dijelaskan kondisi umum dan penyebabnya antara lain kemiskinan dan tingkat pengangguran yang tinggi, mereka sangat menunjukkan simpatinya.

Siang yang begitu cerah lagi sejuk. Namun, sayangnya, kembali obrolan kami harus terputus. Karena keduanya harus melakukan wawancara dengan pihak lain.

Saya mulai memasang telinga baik-baik. Namun obrolannya memang tidak seserius itu. Mereka lebih banyak bercanda. Terutama Erlend.

Beberapa hal dapat disarikan dari obrolan itu. KOC mengaku lebih senang tampil di Indonesia (Jakarta dan Bandung) dibandingkan Singapura. Karena penonton di Singapura terlalu sopan (kalem). Tidak seperti di Indonesia, semua ikut menyanyi dan menari.

In Singapore, they are too polite. Just sit and clapping. But in Indonesia, everyone knows the songs and sing togother, too. That’s great,” (Di Singapura, mereka terlalu kalem. Haya duduk dan bertepuk tangan. Tapi di Indonesia, semuanya tahu lagu-lagu kami. Menyanyi bersama pula. Ini hebat) tutur Eirik.

Mereka juga mengaku tidak khawatir dengan berita isu-isu teroris di Indonesia. “Sometimes. So many strange things. It’s so many in news,” (Kadangkala, ada banyak hal aneh. Begitu banyak yang demikian di berita) ujar Eirik.

Mengapa dan apa yang paling berkesan tampil di Indonesia juga menjadi pertanyaan. Erlend dengan nada bercanda menjawab, “Because we want to. Because everyone sings together. And we paid.” (Karena kami mau. Karena semuanya menyanyi bersama. Dan kami dibayar pula). Langsung disambung tawa mereka yang hadir.

Alasan kebiasaan mereka berdua di atas panggung untuk berdiskusi pun dibawa gurau. “Sometimes, I want to go the toilet, you know,”(Terkadang saya ingin ke toilet) jawab Erlend cuek. Belum lagi reda tawa yang hadir di situ. Ia pun menambahkan, “Well, or it is also could be what song next is.” (Atau bisa juga menanyakan, lagu apa yang akan dibawakan)

Paling tidak ini menjelaskan mereka yang bertanya-tanya. Penampilan mereka berdua di atas panggung memang lebih dari kompak. Ada yang menduga homo. Tapi barangkali yang lebih tepat: Satu Hati.

Ketika dua orang sudah satu, pastinya akan saling memikirkan satu sama lain. Berunding adalah salah satu cirinya. Keterpautan batin dan sinergitas energi yang kuat. Kedua hal itu sangat dominan menggambarkan penampilan Kings of Convenience di Bandung malam itu.

Cayman Island. Eirik mengakui dengan raut wajah memerah dan tetap dengan senyum simpulnya. “It was a story about a trip with my girl friend,” (Ini cerita tentang kekasih saya dulu) tutur Eirik. “It was my first song,” (Ini lagu pertama saya) tambahnya.

It was my second first song,” (Ini lagu awal saya yang kedua) ujar Erlend. Lagi-lagi Erlend mengundang gelak tawa. Sementara Eirik hanya menoleh kepada Erlend. Tanpa berkomentar apapun.

Well, I make the guitar, you know?” (Yaa.., saya yang membuat ragam gitarnya) tutur Erlend lagi.

Kesimpulannya, obrolan untuk TV swasta lokal Bandung itu benar-benar penuh canda dan ledekan. Cukup bagus untuk menimbulkan kesan santai dan akrab bagi sang artis apabila disaksikan pemirsanya.

*

Ia sesungguhnya tampak sudah bosan dengan sekian pertanyaan, wawancara, dan foto-fotoan yang dilakukan di rumah itu. Kabarnya, Erlend agak sulit ditemui media. Ia juga kerap disebut pundungan –dalam Bahasa Sunda. Artinya, gampang ngambek.

Erlend tampak mulai menghindari beranda belakang, tempat semua orang berkumpul. Ia masuk dan mengambil segelas air minum. Saat ia mengamati kebun belakang di sisi berlawanan dengan beranda sebelumnya, saya mulai menghampirinya.

Meskipun ada sedikit ragu, saya juga yakin untuk mendekatinya. Perlahan saya menyapanya. Kemudian, saya biarkan ia mengetahui bahwa maksud saya juga masih seputar wawancara dan media.

Raut mukanya kemudian kembali kaget. Barangkali ia berpikir, seperti tiada kesudahannya. Namun, alangkah tidak disangkanya ia justru mengajak saya untuk berbincang sambil melihat-lihat kebun belakang.

Kami berdua kemudian menyusuri jalan setapak menurun. Disana kami bisa melihat pepohonan yang lebih rimbun. Ada makam keluarga yang dikagumi Erlend. Lalu semak pohon bambu yang sangat hijau batang-batangnya. Yang ia tak pernah lihat sebelumnya.

I like this. This bamboo. This is great. I never see this,” (Saya suka ini. Bambu ini. Ini hebat. Saya tak pernah lihat ini) ujarnya.

**

Erlend tidak dapat menyebutkan secara pasti. Sebuah nama atau genre tertentu untuk jenis musik yang diciptakannya. Ia berharap, seandainya saja ia bisa menemukan nama yang baik untuk itu. Nama yang cocok.

Bagi Erlend, sejak kecil, menyanyi dan mencipta lagu adalah sesuatu yang sungguh-sungguh telah ia idam-idamkan. Namun ia tidak pernah berkata, ia berharap akan menjadi sesuatu atau seseorang tertentu.

Akan tetapi, yang sebetul-betulnya ia ingin lakukan adalah memiliki pekerjaan yang bisa sangat ia nikmati dalam melakukannya. Sesuatu pekerjaan yang menyenangkan.

Tampaknya ia membiarkan segala sesuatunya mengalir secara alami. Termasuk dalam prosesnya. Dalam perjalanannya mencapai semua ini.

Sebelum berumur 16 tahun, saya belum benar-benar memainkan instrumen. Saya tidak pernah belajar. Begitulah. Saya tidak pernah belajar musik. Saya bermain dengan kawan-kawan. Kami belajar satu sama lain. Seperti sedikit-sedikit begini. Sedikit-sedikit begitu. Akhirnya.., demikian,” tuturnya.

Dalam mengatasi dan melewati masa-masa sulit , Erlend memiliki pendapatnya sendiri.

Poin yang sangat utama dalam mencipta lagu adalah bahwa kamu membuat lagu tentang sesuatu di masa yang sulit,” katanya.

Tentang sesuatu yang sedih, misalnya. Adalah hal yang sangat mengagumkan kalau kamu bisa memutar sesuatu yang sedih menjadi sesuatu yang indah,” lanjutnya.

Itulah alasan utama dalam membuat lagu,” tegasnya.

Kemudian, ia berbagi sedikit ilustrasi pengalaman psikologis yang dialaminya. Seperti dalam konsernya di Bandung.

Contohnya, saya mengalami sesuatu yang sedih pada Februari 2000. Lalu, di tahun 2006, saya memainkan lagu itu di Bandung,” tuturnya mulai berkisah.

Dan semua orang tahu lagunya. Dan semuanya bernyanyi bersama sepanjang waktu itu. Dan kamu bisa kembali ke masa yang kamu tuliskan itu,” ungkapnya dengan sedikit terbata-bata. Serius dalam mengungkapkan pikirannya. Ada kehati-hatian di dalamnya.

Dan rasanya.., hal itu membuatmu merasa begitu optimis. Ini berarti, kamu bisa mengatur pikiranmu dan itu berlipatganda,” ujarnya yakin. Ada keteduhan dalam sorot matanya.

Erlend diam-diam menyimpan memori dalam tentang ibunya. Baginya, ibunya yang paling mendukungnya. Ialah yang membantunya melewati masa-masa sulit.

Ibuku. Ya, orang yang saya pernah ceritakan, seorang pelukis. Ialah seseorang yang selalu mendukung saya,” tuturnya. Kali ini nada bicaranya melembut.

Banyak orang.., saya pikir.., setiap orang bertemu dengan banyak pergolakan saat mereka ingin menjadi sesuatu. Ibuku, ia telah mendukungku semampu yang ia bisa,” ujarnya kembali hati-hati.

Setelah beberapa detik berpikir atas pertanyaan terakhir saya. Menutup obrolan, Erlend pun menjawab dengan nada pasti. Erlend punya pesan kepada seluruh dunia, tentang makna seorang ibu.

Bagi saya, ibu adalah seseorang yang membuatmu merasa lebih aman. Saya rasa, ialah orang yang paling bisa kamu percaya.”

TAMAT

**

salam,.

my>k

Permalink Leave a Comment